Peningkatan usaha peternakan menyebabkan produksi limbah yang semakin banyak, termasuk feses dan urin, serta menghasilkan panas sekitar 4000 kal/g dan gas metana (CH4) yang cukup tinggi dari proses pencernaan ternak. Gas metana ini dapat dimanfaatkan sebagai komponen dalam pembuatan briket. analisis menunjukkan bahwa kotoran sapi mengandung selulosa (22,59%), hemiselulosa (18,32%), lignin (10,20%), total karbon organik (34,72%), nitrogen total (1,26%), rasio C:N (27,56:1), fosfor (0,73%), dan kalium (0,68%).
Kotoran sapi dapat digunakan sebagai bahan baku briket, yang berperan sebagai sumber bahan bakar alternatif. Proses pembuatannya melibatkan pengumpulan kotoran, pencampuran dengan tepung tapioka sebagai perekat, pencetakan, dan pengeringan. Penelitian menyimpulkan bahwa komposisi terbaik adalah 99% kotoran sapi dan 1% tepung tapioka, menghasilkan nilai kalori sekitar 479.214 kal/g. Pelatihan di berbagai desa bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap potensi kotoran sapi dan mengurangi pencemaran lingkungan.
Suhu pengeringan memiliki pengaruh besar terhadap nilai kalor briket. Penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu pengeringan, kadar air dalam briket akan menurun, yang membantu meningkatkan nilai kalor. Suhu pengeringan optimal untuk briket kotoran sapi adalah sekitar 75°C, dengan waktu pengeringan selama 3 jam untuk mencapai nilai kalor tertinggi. Namun, jika suhu melebihi 100°C, nilai kalor dan stabilitas briket bisa menurun karena hilangnya zat volatil yang penting. Oleh karena itu, pengaturan suhu dan waktu pengeringan yang tepat sangat penting untuk meningkatkan kualitas briket.
Penulis : Lutvi Ngaini
Sumber : http://ejournal.unkhair.ac.id/index.php/Macoou/article/download/137/89/553?t&utm_source=perplexity
Sumber gambar : https://images.app.goo.gl/527EmZVJsW2qFc9g7

